Apabila seseorang berkunjung ke Bujuk Adirasa ini (siapapun orangnya, baik penduduk setempat atau orang luar) pasti akan dibingungkan oleh arah makamnya. Kemanakah arah makam itu membujur? Arah utara - selatan ataukah arah barat - timur ? Menurut cerita yang dipercaya oleh penduduk tempat, dahulu makam itu membujur tepat arah utara - selatan, tetapi secara perlahan dari tahun ke tahun arah makam itu bergeser sendiri kearah barat - timur. Tapi benarkah sekarang arah makam itu membujur arah barat - timur? Anda harus membutikan sendiri karena penulispun masih bingung, kemanakah arah makam itu membujur yang sebenarnya.
Akhir - akhir ini, mulai berhembus cerita yang baru yang berasal dari sumber yang tidak pasti, bahwa makam itu bukanlah makam Adirasa. Katanya makam itu hanyalah kerangka manusia yang tidak diketahui asalnya. Dia datang dan mati di situ, kemudian di makamkan di situ pula. Namun cerita itu bertentangan dengan cerita yang ada sejak dulu yang berasal dari generasi tua penduduk setempat. Cerita dulu tersebut menyebutkan bahwa makam itu adalah makam Adirasa.
Dahulu kala ketika orang - orang senang berkhalwat atau menyepi ketempat- tempat yang sunyi untuk menyendiri, tercatat alkisah dari Adirasa, senang bertapa suci yang bertapa di ujung pohon ilalang di daerah Jumiang. Pertapa inilah yang kemudian mati dan dimakamkan di sana. Barangkali cerita ini benar karena terbukti dahulu di Jumiang ini mimang banyak tumbuh pohon ilalang yang lebat hingga seperti hutan. Begitulah menurut para sesepuh kampung. Namun sayang bukti pohon ialang itu sekarang sudah musnah.
Terkait dengan cerita Adirasa , ada nama-nama lain yang berhubungan dengannya yaitu , Joko Tole , Agus Banyak Wedi, dan Adi Podey. Joko Tole adalah putra Adi Podey dengan Potre Koning. Dahulu ketika salah satu Raja Maja Pahit ( Hayam Wuruk) dengan patihnya ( Gajah Mada) mengadakan sayembara untuk membangun pintu gerbang di kerajaan itu, hanya Joko Tole lah yang mampu melakukannya. Hal itu di karenakan Joko Tole sebelum berangkat menuju tanah Mojo Pahit, dia mampir ke tempat pamannya, yaitu Adirasa di Jumiang. Dari pamannya inilah dia mendapat nasehat dan sekaligus juga "jimat" agar bisa memenangkan sayembara tersebut. Begitu juga dengan adik Jokotole, Agus Banyak Wedi, setelah menjadi adi pati di Gresik , setiap datang mengunjungi ayahnya, Adi podai kedaerah Sumenep, dia selalu mampir dulu ke Jumiang untuk menemui paman nya. Hal ini menunjukkan bahwa sang petapa Adirasa memang menetap di Jumiang dan besar kemungkinan meninggal disana juga.
Kisah Adi Podey pun yang bertapa di "Gua Pajundan" ikut menyumbangkan satu cerita yang hingga saat ini pun masih di percaya oleh penduduk setempat. Bahwa ada sebuah gua di Jumiang ini. Gua ini jalan tembus yang bersambung dengan gua Pajuddan hingga membentuk lorong panjang. hal ini di kaitkan dengan keberadaan kedua petapa suci itu, dimana Adi Podey bertapa di gua Pajuddan sedangkan Adirasa bertapa di Jumiang, sehingga wajar saja keduanya mempunyai jalan khusus. Namun keberadaan lorong goa ini tidak dapat dibuktikan dengan mata biasa kerana hanya orang - orang tertentu, memiliki ilmu kebathinan yang tinggi yang dapat melihat nya. Bahkan di percanya juga bahwa di dalam goa itu banyak orang - orang yang sedang bertapa.
Cerita lainpun menyebutkan bahwa dahulu di sebelah selatan tepat nya tenggara dari makam itu ( sebelum Jumiang terkikis oleh erosi seperti sekarang), terdapat sebuah sumber mata air tawar yang membentuk telaga kecil dengan pemandangan yang indah. Pemandangan ini sering muncul terlihat kembali oleh penduduk setempat dari generasi sesepuh ataupun dari generasi sekarang. Sebuah telaga kecil yang di kelilingi pohon - pohon yang hijau dan rindang. Di sebelah selatan telaga itu terbuat sebuah batu putih yang lebar menghampar, cukup untuk seorang melaksanakan sholat. Persis di sebuah kanan batu itu, terdapat sepotong bambu kering ( Tonggek, Madura ) yang di tancapkan ke bumi dengan di ujung atasnya menggantung sebuah " begung" ( alat untuk menciduk air, kuno ) dan tepat di bawah , di sebelah timur batu itu ada sepasang " Paccak " ( sandal, kuno ) walaupun pemandangan ini hanya sebagai bunga tidur di dalam mimpi, namun keberadaannya tetap di yakini oleh masyarakat setempat. Sedangkan disebelah utara dari makam itu terdapat sebuah pohon Mengkudu yang tumbuh tinggi dan besar, tapi tidak pernah berbuah. Bukti pohon mengkodo inipun sudah tidak ada lagi. Dahulu pohon mengkudu ini di percaya bisa di jadikan " tatengger" ( pertanda ) . apabila ada salah satu cabangnya yang patah maka itu berarti akan ada tokoh di Jumiang atau di sekitar Jumiang yang akan meninggal dunia.
Masih dari cerita rakyat setempat, bahwa dahulu makam ini sangat keramat sekali. Apapun yang terbang dan melintas tepat di atas nya akan jatuh, termasuk sekalipun tapi keramat itu menjadi hilang karena tempat ini dijadikan tempat yang "tidak keramat" oleh orang-orang luar yang datang dengan maksud tak bermural
Ada lagi cerita unik yang dipercaya masyarakat setempat, bahwa dulu setiap orang yang datang ke Jumiang akan gatal-gatal disekujur tubuhnya walaupun tidak sampai menjadi penyakit kulit. Hal ini kemudian dikaitkkan dengan nama "Jumiang" itu sendiri. "Ju" berarti muncul, dan "Miang" berarti rasa gatal. Barangkali hal ini wajar terjadi pada dahulu di saat Jumiang masih penuh dengan pohon ilalang yang tinggi dan lebat. Sehingga setiap orang yang lewat akan terpaksa menerobosnya, maka Kulitnya akan terasa gatal karena menyentuh pohon-pohon ilalang tersebut.
Orang- orang di luar Jumiang pun ikut menyumbangkan cerita di sini. Mereka percaya bahwa apabila sepasang tunangan atau berpacaran, di bawa ke Jumiang maka akan putus atau bubaran, benarkah? Barangkali bukti di luaran memang seperti itu. Mereka yang tahu. Wallahua'lam bissowab.